Dinginnya malam menjelang fajar ini membekukan kakiku, sudah tiga hari ini setiap fajar menyingsing aku selalu merasakan kebas di kedua ujung jari-jari kakiku. Tiga hari ini pula, waktu terpanjang aku tidur dengan seseorang, tepatnya beberapa orang di tempat dingin seperti di Dieng ini. Dua laki-laki dan satu perempuan. Kami sahabat erat semenjak SMA, walaupun ada seorang hawa di perkumpulan kami ini, tidur bersama pun sudah tidak menjadi hal yang tabu bagi kami. Kita sahabat, kita keluarga.

Kami bertiga kuliah di tempat yang berbeda, ada saja hal-hal yang membuat kami berkumpul bertiga. Kadang secara tidak disengaja, kami berada pada satu tempat yang sama, lalu saling menyapa dan berkumpul ria menjelang malam.

Kejadian berlibur ke Dieng ini pun direncanakan secara tiba-tiba. Lima hari yang lalu aku membaca majalah wisata di Gramedia Merdeka. Tiba-tiba ada yang mengejutkanku dari belakang sembari cengengesan. "ngapain lo disini?? Kayak orang kurang kerjaan aja", ya, suara lembut khas hawa itu familiar di telingaku. Lima tahun suara itu keluar masuk gendang telingaku, tanpa melihatpun aku sudah bisa mengetahui siapa yang semena-mena membuyarkan konsentrasiku pada barisan-barisan tulisan di majalah itu. "Lo ganggu aja ah, orang lagi asik juga, ngapain lo tiba-tiba ada disini, kayaknya buku atau majalah bukanlah hal yang menarik minat lo", aku membalas tanpa menoleh. "Baca apa lu kacamata?", ya, kacamata mungkin adalah barang yang khas di wajahku, berbingkai besar berwarna hitam kecoklatan, dan kacamata lah yang menjadi panggilanku kadang-kadang. "Ini, baca majalah wisata, headline kali ini membahas Dieng, kayaknya seru","yaudah, hayu kita kesana, udah libur gini kan, pamali kalo gak dimanfaatin", dia membalas dengan spontanitas seperti biasa, dan memang orangnya serba spontan, bahkan membuat tugas kuliah pun spontan, hasil pinjam tugas temannya. Dan dengan spontanitas hawa satu inilah, kami sering melakukan hal-hal dengan tiba-tiba, kiranya dia sudah menguasai ilmu kodok dengan status cumlaude, kapan inget, loncat.

Dan disinilah kami, Dieng, daerah sejuk yang berada di komplek pegunungan Sindoro Sumbing ini lah aku berada saat ini. Walaupun sudah memakai sleeping bag tebal, Dieng yang bisa mencapai suhu nol derajat pada saat menjelang fajar ini begitu membuat tulang-tulang ku menggigil. Namun, semua kedinginan itu sirna oleh pemandangan disini, konon, Dieng ini kata orang-orang setempat merupakan tempat dewa-dewa bersemayam, tidak salah dewa-dewa memilih tempat ini untuk mereka bersemayam, daerah ketinggian ini begitu mempesona, puncak-puncak gunung yang muncul dari atas awan, telaga-telaga yang misteri di dalam diamnya, candi-candi tua di megahnya sendiri. Ini lah negeri di atas awan, negerinya dewa-dewi.

Dan sudah tiga hari saja aku disini bersama kedua sahabatku ini, berpetualang dari kawah yang satu ke kawah yang lainnya, membuat kentang bakar, menelusuri candi-candi, membuat kentang bakar lagi, berfoto-foto dengan pose semedi berlatarkan puncak gunung Sindoro, membuat kentang bakar lagi. Ya, kentang, Dieng merupakan sentra produksi kentang dataran tinggi untuk wilayah Jawa Tengah. Dan apalagi yang menggiurkan selain kentang, irit, mengenyangkan, dan banyak.

Udara dingin pagi ini membuat ku terjaga, aku putuskan untuk bangun lebih cepat, ternyata di udara dingin tidak selalu membuat mata mengantuk, aku merupakan contoh nyata orang yang susah terlelap di udara dingin seperti ini. Aku bangkit dari tidurku, melihat keseliling, dan masih gelap diluar. Lampu 10 watt di ruang tengah penginapan ini bermain dengan lemahnya daya listrik, sesekali memutuskan pancaran cahayanya, menimbulkan efek misteri seperti di film-film horor yang belakangan ini mulai gempar lagi. Dua sahabatku ini tetap terlelap macam dua bayi lanjut usia, aku membenarkan selimut yang tertendang oleh hawa ku ini, tampaknya pertandingan bola sedang seru-serunya di alam mimpinya. Aku memperhatikan dua pipi putihnya yang kemerah-merahan menahan dingin, indah. Tampaknya segelas kopi tubruk panas bisa membuat perutku jadi hangat sebelum kelewat pikiranku yang membuat tubuhku hangat. Buru-buru aku bangkit dari dudukku dan segera melaju ke dispenser yang sedari semalam sudah berulang-ulang memanaskan air yang sama tanpa ada pengurangan, kerjamu membosankan sekali dispenser.

Suara gelembung udara di dalam galon membangunkan Kemala yang terjaga sembari menggosok-gosok hidungnya dan membetulkan kupluk pink yang sekarang bertengger miring. "Jam berapa sekarang Ple??", adegan dia bertanya sembari menggaruk-garuk hidung itu begitu membuatku geli, walaupun sudah lima tahun ini aku melihat adegan yang sama. "Masih stengah enam, tidur lagi aja lu sana gih", "dingin yah Ple, bagi kopi lu dong", dia bangkit dari duduknya menghampiriku.  "Lu belom gosok gigi La","Ah gak apa apa lah, lu juga belom gosok gigi juga, hehehe".  Kami menertawakan kekonyolan kami sendiri.

"Berisik kalian ah, pagi-pagi udah ketawa-ketawa", semprotan Wawan mendekam di bantalnya sendiri, boro-boro mendiamkan kami, teriakannya dalam posisi telungkup itu malah membuat kami semakin terbahak. Dan tiada mimpi lagi buat Wawan, terjaga sempurna dalam telungkupannya.

Dan pagi ini, sebelum jam menunjukkan angka enam tepat, kami bertiga sudah melek dengan sempurna. Seperti pagi-pagi di dua hari ini, kami keluar menunggu matahari terbit yang mengeluarkan pesona tersendiri. Indah.

Satu jam pertama matahari menyinari tanah tinggi Dieng ini kami habiskan duduk di sebuah batu yang besar ditemani secangkir kopi tubruk dan pisang goreng. Kami terpaku, membisu menikmati jilatan lembut sang mentari yang muncul di bayang-bayang kabut pagi, ini semua tidak ada gantinya, begitu damai dan sepi, hanya kami dan mentari pagi, dan hembusan semilir embun yang sesekali menyapu tengkuk yang memberikan sensasi sejuk meletup-letup.

Keterpakuan kami yang macam petapa yang sedang bersemedi di kejutkan oleh sapaan pak Yono, pengelola sekaligus pemilik penginapan tempat kami menginap. "Piye toh, pada diem begini semua", pak Yono menyapa dengan senyum khas nya di tiga hari ini. "Diam begini lebih asik pak", sahut Wawan sembari tergelak. "Yo wess, abis merenung langsung kedalem yah, bapak udah nyiapin nasi goreng plus kentang bakar kesukaan kalian, bapak pamit dulu", "siap paaak", jawab kami tanpa aba-aba.

Aku masih ingin menikmati suasana ini sedikit lagi, begitu juga dengan mereka berdua, sedikit lagi cukup, paling tidak sampai wajahku sudah sedikit kemerahan.  Tanpa terasa setengah jam pun sudah berlalu, sapaan pak Yono kembali membuyarkan lamunanku. Dan kami tanpa basa-basi lagi langsung membawa gelas-gelas bekas kopi kami dan piring kembali ke penginapan.

Di penginapan, kami memang disambut oleh tiga piring nasi goreng, dan satu piring kentang bakar yang mengepulkan uap keputihan pertanda masih panas. Sungguh menggoda, dipagi yang masih dingin ini kami dimanjakan kehangatan. Satu piring nasi goreng dan dua kentang bakar telah aku lenyapkan, memang benar kata orang-orang, cuaca dingin memang membuat kita lapar. Kemala juga melenyapkan setiap butir nasi dipiringnya, plus tiga kentang bakar, aku sedikit bingung dengan selera makannya, apapun yang terhidang lenyap tak bersisa, namun tidak menimbulkan kesan di tubuhnya, tampaknya kungfu aliran kodok loncat yang dikuasainya itu menguras semua kalori yang dimakannya. Wawan juga menghabiskan nasi goreng dengan menyisakan kuning telur mata sapinya, dia memang tidak menyukai kuning telur, tepatnya dia tidak memakan kuning telur, katanya kuning telur mengandung lemak, putih telur lah yang menjadi kesukaannya, itu dia lakukan untuk tetap menjaga asupan protein ke tubuhnya, dengan meminimalisir asupan lemak. Wawan mulai membenci kuning telur semenjak ikutan fitnes di dekat rumahnya, dia mulai terobsesi membesarkan ototnya setelah melihat aksi finalis ajang adu otot yang diselenggarakan sebuah perusahaan suplemen kesehatan. Dan ototnya tumbuh ideal seperti yang diharapkannya.

Tiga jam pun telah berlalu, kami sibuk berbenah untuk kepulangan kami. Tiga ransel telah siap disiapkan dan berlusin kenangan di memori kepala maupun di memori kamera. Dieng ini bakalan merindukan, setidaknya untukku.

***

Mungkin kami telah ditakdirkan untuk bertiga, diawali lima tahun lalu ketika masa orientasi siswa di sekolah kami. Kami berada di grup yang sama, tanpa sengaja duduk berdekatan, dan ketika ada tugas kelompok yang terdiri dari tiga orang, kami satu kelompok lagi. Dan dari sanalah, pertemanan kami dimulai. Ketika ada pemilihan ekstrakulikuler untuk siswa-siswa baru, untuk pertama kalinya kami terpisah. Aku mengambil ekstrakulikuler film dan photography. Yang lainnya di ektrakulikuler Sains dan Musik.

Walaupun kami berbeda kelas, tapi keakraban kami tidak pernah memudar, paling tidak buatku, mereka berdua adalah teman pertamaku di SMA. Aku yang biasanya sedikit pemalu tapi selalu berusaha untuk tetap berjiwa "asik" pertama kali mendapatkan teman yang terbuka seperti mereka berdua. Makanya aku selalu merasa nyaman ketika di dekat mereka.

Setiap pulang sekolah kami selalu bertemu di pohon Lengkeng di dekat gerbang sekolah, dan menunggu siapa yang belum datang. Kami selalu membahas apa yang sedang menjadi trend di kalangan abg-abg SMA ini, atau minta Juple mengajari kembali soal-soal Fisika atau Matematika. Juple selalu terdepan di dua mata pelajaran itu. Pertama aku bertemu Juple, aku berpikir dia orangnya tertutup, tapi setelah sekian lama, Juple memiliki daya tarik yang lain. Jika sedikit gugup ataupun sedang serius, dia selalu menaik-naikan kacamatanya walaupun tidak turun ke puncak hidungnya. Ini yang membuat kami berdua selalu menjahilinya dengan panggilan Juple, kenapa Juple, kami pun tidak tahu, kesannya lucu aja. Dan Juple sering jengkel dengan panggilan barunya, soalnya dari awal pertemuan kami bertiga, namanya langsung berubah dengan Juple. Dia pernah kesal dengan panggilan barunya itu, "Juple, Juple, kalian seenaknya aja, coba gw tanya sapa nama asli gw, lo berdua gak tau kan?? Dan kalian ngetawain gw??", kejadian itu terjadi di dua bulan pertemuan kami, namun tetap aja, dia menerima saja nama Juple itu, dan sampai sekarang kami tetap memanggilnya Juple atau si Kacamata. Dan cuma kami  saja yang diizinkan memanggilnya dengan panggilan itu, yang lain, dilarang keras.

Di pertengahan semester satu kelas dua, aku mendapatkan tugas untuk mencari foto-foto kegiatan ekskul yang akan ditampilkan di mading sekolah, tugas ini permintaan ekskul mading dan majalah. Aku mengililingi setiap kegiatan ekskul, menyandang kamera manual, dan mencari posisi terbaik untuk pengambilan gambar. Semua eksul telah masuk ke dalam lensaku, tinggal ekskul Sains dan Musik saja, dua ekskul tempat sahabat-sahabatku berada. Di ekskul Musik aku hanya menghabiskan waktu sebentar saja, karena cuma dua orang yang ada di ruangan, yang lainnya sedang melakukan negosiasi dengan kepala sekolah perihal pembelian efek gitar baru.  Di ekskul Sains, sedang dilakukan penelitian microba, aku mendapati Juple sedang mengotak-atik mikroskop, dan aku secara tidak sadar langsung mengarahkan lensa kameraku kepadanya, dua sampai tiga kali memotret anggota lain, dan banyak kali menghabiskan negatif film ku untuk si Juple. Aku tidak tahu kenapa aku terlalu berlebihan mengambil gambar si Juple. Sebelumnya aku juga sering memperhatikan Juple dari kejauhan, ketika dia sedang membalik-balik lembaran buku di perpustakaan, bercanda dengan teman sekelasnya, manaikkan kacamatanya ketika sedang jalan, aku tampaknya tanpa disadari selalu mengikuti pergerakan Juple, mungkin inilah yang dinamakan cinta, cinta anak sekolahan, dan kepada sahabatku sendiri.

***

Aku memang sedikit berotot sekarang, aku lebih suka menyebutnya ideal. Ini berawal dari teman kampusku yang memang hobi fitnes, dan menawariku untuk ikutan fitnes, karena saat itu memang badanku tidak terlalu ideal, sedikit gemuk, melebihi kata ideal ternyata. Setelah aku melihat teman kampusku badannya berbentuk, yang dahulunya dia tidak terlalu ideal sama denganku, namun kurus, sekarang telah berubah menjadi sosok yang dilirik-lirik cewek jurusan ekonomi, yang notabene berisi cewek-cewek kualitas super di kampusku. Aku yang tidak terlalu menarik dikalangan cewek, merasa sedikit termotifasi, setelah aku curhat ke Kemala, dimana dia satu-satunya cewek setelah ibuku yang mau berdekatan denganku, aku pun mencoba ikutan fitnes, dua minggu aku ikutan, gagal, aku gak kuat. Motifasiku kembali naik ketika ada kontes yang diadakan produk susu berprotein. Aku mencoba mengonsumsi L-Men, yang dalam tiga tahun belakangan familiar di telingaku, bukan karena iklannya di tv-tv, namun dari Juple dan Kemala, L-Man atau LeMan, Lemak Man, itulah sebutanku sebelumnya, pahit, namun menyenangkan jika dari mereka berdua.

Namun sekarang aku sudah bermetamorfosis dari L-Man ke L-Men, dimana hanya berbeda satu huruf vokal, namun butuh setahun kurang bagiku untuk menukarnya. Dengan tetes keringat yang jatuh di tempat fitnes didekat rumahku, aku mengoyak kepompong lemakku menjadi otot. Dan inilah aku, yang kadang-kadang sering menjadi babu angkat bagi kedua temanku, seperti ketika mengangkat ransel di dalam kereta menuju Jogja sewaktu keberangkatan kami ke Dieng. Hei, aku ini cuma berbadan ideal, bukan atlet binaragawan yang memang kuat. Tapi tak apalah, latihan angkat beban ku waktu fitnes memang sedikit membuatku lebih kuat, ketimbang Kemala ataupun Juple. Tapi aku pernah kalah angkat barbel dengan Juple, aku hanya bisa mengangkat 54 kali, Juple  100 kali lebih, Kemala bosan menghitung tiap kali kami mengangkat barbelnya.

Kemala, satu-satunya hawa di pertemanan kami bertiga, dia yang meletup-letup sering membuat kami berdua kewalahan, dia aneh, namun bersahabat. Tidak seperti cewek-cewek lain yang menyukai hal-hal lucu seperti babi berwarna pink yang biasanya cuma lucu di dalam bentuk boneka saja, atau hamster yang memang menjadi hal lucu bagi cewek-cewek kebanyakan, dia malah suka jangkrik, ya jangkrik, yang besirik ketika malam tiba. Dia mengalami trans ketika mendengar suara jangkrik, dan mendapatkan ide-ide ketika suara jangkrik menjadi backsound renungannya. Dia suka melompat ke genangan air hujan yang mengakibatkan celana kami kebasahan dengan cipratannya, dan dia tertawa dengan hal itu. Dia suka aroma tanah sehabis hujan, dimana aku sendiri tidak bisa mencium seperti apa aroma tanah sehabis hujan, apakah penciumannya yang terlalu tajam atau penciumanku yang terlalu lemah, aku masih bingung. Namun keanehan dia itu lah yang membuat kami semakin menyukai dia. Dia memiliki dunianya sendiri, yang jarang ditemui pada cewek-cewek lain. Dia Kemala, satu-satunya hawa di pertemanan kami bertiga, yang selalu mendengarkan ketika kami berkeluh kesah, yang selalu terdiam ketika jangkrik menyanyi.

Satu lagi hal yang disukainya, dia suka suara petir, dimana kaumnya selalu berteriak histeris ketika mendengar gemuruh petir, dia malah tersenyum dan sesekali tertawa kecil. Waktu pertama kali kami melihat dia tertawa kecil ketika mendengarkan gemuruh petir, kami terdiam. Dia menakutkan ketika itu. Beberapa hari sehabis kejadian itu, aku memberanikan diri menanyakan kenapa dia bisa seperti itu, walaupun aku sedikit takut menanyakannya, dia malah ketawa. Dan kebingunganku semakin menjadi-jadi. "Jadi lu melihat gue ketawa yah waktu itu??","iya, juple juga liat kok","yang bener lu? Halusinasi kali lu","beneran kok, tanya Juple kalo gak percaya","hahahaha…", dia membalas dengan ketawa. "Dulu yah, gue jalan mau pulang dari rumah temen, hari mau hujan, pas gue jalan nih yah, ada petir gede, kaget kan gue, gue malah loncat nyari tempat aman, tau gak lu gue loncat kemana, ke selokan, hahahaha", "trus apa hubungannya??","Iya yah, gini, abis kejadian itu, waktu gue denger suara petir, gak tau kenapa gue inget aja kejadian itu, makanya gue senyum-senyum, ato malah ketawa, lucu kan gue, hahaha","Sialan lu". Cewek macam apa dia, malah inget yang lucu-lucu waktu cewek lain ketakutan. Namun tetap saja, dia Kemala si aneh.

***

Kacamataku turun ketika roda kereta api Argo Gede ini melindas sambungan antar rel. Didepanku duduk Kemala dan Wawan, disampingku ransel kami bertiga, mereka berdua tertidur, perjalanan membosankan dengan kereta ini memang membuat kantuk. Akupun sudah dua kali tertidur, dan tampaknya bakalan tertidur lagi. Kemala tertidur di bahu Wawan, bekas lipatan baju wawan tercetak di pipi putihnya yang memerah. Dialah pusat dunia kami.

***

Aku tertidur lagi di perjalanan kereta api ini, tepatnya mataku terpejam, aku tidak pernah bisa terlelap didalam sebuah perjalanan walaupun aku sudah berusaha untuk tidur. Jadi aku hanya menutup kedua mataku saja. Sesekali aku membuka mata, sekedar untuk melihat keluar jendela, atau melihat sekeliling gerbong ini. Tapi tetap mataku terdampar melihat Juple, sedang tidur masih saja dia memperbaiki letak kacamatanya. Hal yang membuatku sangat menyukainya. Seperti pertama kali aku melihatnya di ruangan ekstrakulikuler Sains lima tahun yang lalu. Dia pintar, namun tidak cupu. Dia baik, dan aku tidak tau apa yang membuatku suka dengannya. Lagu She's got a way nya Billy Joel tampaknya sesuai untuk menggambarkan bagaimana aku terhadapnya. Tidak butuh alasan untuk mencintai, kamu akan kebingungan sendiri jika ditanyakan kenapa mencintai seseorang, karena cinta itu sendiri adalah sebuah alasan yang tepat kenapa kamu mencintai seseorang. Dan aku juga tidak bisa mengatakan kenapa aku mencintai Juple selama ini, aku masih menyimpannya sendiri, aku ragu untuk mengatakannya.

Aku sering memperhatikannya jika melakukan sesuatu, terlebih satu tahun belakangan, aku menyadari kalau aku mencintainya baru satu tahun belakangan, sebelumnya aku masih ragu-ragu.  Tatapan kami sering bertemu tanpa sengaja ketika aku memperhatikannya, kadang aku sering dengan sengajanya mendekatkan diri kepadanya, mungkin dia tau bahwa aku menyukainya.

Kacamata nya turun lagi, dan dalam tidurnya masih saja dia memperbaiki letak kacamatanya. Aku tertidur lagi saja, atau tepatnya mataku kupejamkan kembali.

***

Sudah dua hari ini aku lewatkan tanpa mereka berdua. Setelah liburan kami ke Dieng, kami belum berkumpul bersama lagi. Tampaknya Kemala belum mendapatkan ide-ide aneh lagi. Aku tadi ditelpon kemala untuk datang ke tempat kami biasa duduk-duduk menghabiskan sore, acara yang dia namakan menunggu jangkrik. Aku bersiap-siap di kamar, setelah seharian mengedit foto kami, main game, nonton film, yang bakalan menambah minus kacamataku.

Aku tau dia menyukaiku, mencintaiku mungkin. Aku sudah tahu beberapa bulan belakangan ini. Kadang tingkah nya aneh, ketika tatapan kami bertemu dia segera memalingkan pandangan. Aku sempat bingung di awal-awal, kenapa membuang pandangan, tanyaku. Toh cuma bertemu pandang adalah hal yang wajar.  Dan aku pun menanggapinya dengan biasa-biasa saja. Firasatku kalau dia menyukaiku semakin kental, ketika dia tiba-tiba sedikit bertingkah aneh terhadapku, dengan mendekatkan diri mencoba memberikan sinyal perasaannya terhadapku dan bahkan dulu aku pernah mendapatinya sedang mencium aroma rambutku. Dan akupun terkejut. Cinta memang datang untuk siapa saja dan mencintai seseorang bukanlah hal yang salah walaupun orang itu adalah sahabat sendiri. Sejak aku menyadari perasaannya terhadapku, aku sering memperhatikan gerak-geriknya, aku ingin mengetahui apakah dia benar-benar menyukaiku, aku masih ragu awalnya, sampai akhirnya aku yakin kalau dia menyukaiku setelah secara tidak sengaja aku melihat foto-fotoku sewaktu di sekolah dengan hiasan hati warna pink yang di buatnya sendiri, yang aku temui di balik buku di meja belajarnya ketika aku mampir kerumahnya untuk meminjam film terbaru beberapa waktu yang lalu.

Cinta memang tidak pernah salah, ,walaupun itu cinta dari nya, tapi, ...

…………………….

Kamu simpan gambarku dalam hati
Dalam mimpi dan di dalam hati
Dalam mimpi dan di dalam hati

Kita bertemu muka lagi
Hanya menatap tanpa bahasa
Tanpa isyarat memendam tanya
Masihkah aku di dalam mimpimu

Aku takut kamu suka pada diriku
Maaf aku pernah mengisi relung hatimu
Karna memang aku bukanlah lawan jenismu



Nov' 2011
Terinspirasi dari lagu Efek Rumah Kaca dengan judul Bukan Lawan Jenismu.

 

Cerita


Kode area 0751.

Seorang pemudi berjalan tergopoh-gopoh menyusuri lorong-lorong kampus yang katanya kampus termegah se asia tenggara. Kampus yang didominasi warna abu-abu pucat dengan konstruksi menyerupai rumah gadang. Pemudi itu memeluk beberapa buku tebal bersampul keras hasil pinjaman dari perpustakaan kampus sepagi tadi.  Kerudung si pemudi melambai-lambai ditiup angin bukit karamuntiang tempat kampus itu bertahta seperti biasa masyarakat sekitar menyebutnya. Seperti kastil-kastil di jaman pertengahan, bangunan-bangunan ini menyerupai sebuah kastil yang menyendiri di puncak bukit, menyendiri dari hiruk pikuk kehidupan masyarakat kota di 20 km dibawahnya. Memberikan ketenangan untuk para pencari ilmu dalam pengabdian diri mereka masing-masing. Tak pelak suasana 'tersendiri' ini memberikan sensasi kebosanan bagi beberapa pejuang ilmu tersebut.

Si pemudi menarik nafas panjang, ketika membelok masuk ke dalam kelas. Ya, dia punya kelas hari ini. Seperti kelas biasanya, kita diharuskan atau kadang terpaksa berjibaku dengan tumpukan-tumpukan kertas bersarat kata-kata berisikan ilmu, katanya seperti itu, kita mencari ilmu lewat buku. Dan memang, buku memberikan ilmu yang kita mau, tapi banyak juga orang-orang mendapatkan ilmu tidak dari buku.

Si pemudi melongsorkan badannya di sebuah kursi kayu bermeja di bagian depan kelas. Mulai berjibaku dengan buku yang digendongnya menyusuri lorong-lorong kampus tadi. Menenggelamkan diri dalam untaian-untaian huruf times new roman yang terukir di urat-urat kertas. Dan dia mewangi aroma kertas lusuh.

Lebih kurang 1599 km ditenggara, Kode area 022.

Terik matahari april mulai memanggang tengkuk seorang pemuda. Tengkuknya sudah mulai menghitam dihiasi kilatan keringat jika melihatnya dari sudut yang tepat. "anjrit, panas-panas gini gua musti kuliah, duh gusti", si pemuda menyumpah dengan lirih ke botol minuman dingin yang dipegangnya sedari tadi. Sekali-sekali botol itu diusapkannya ke dahi, leher dan bagian manapun kulitnya di setubuhi matahari. Si pemuda berjalan di bawah bayang-bayang gedung perkuliahan di sekitarnya. Melewati kolam Indonesia Tenggelam ditengah-tengah kampus, menuju Labtek III tempat perkuliahannya hari ini.

Senja pun mengusir keberadaan matahari di hari ini, horizon pun dihiasi tirai langit kuning keemasan. Ya, si pemuda tampak manikmati tiap detiknya memandangi ufuk jauh dari puncak atas bangunan kosannya. Dia terlalu antusias dengan lapisan tipis antara siang dan malam, terlebih lagi setelah malam menjelang. Kadang, di kesepian malam kita bisa mendengar bisikan alam, atau mungkin bisikan itu hanya rekaan kepala kita sendiri yang larut terpengaruhi pekatnya malam. Apapun itu, di suasana tersunyi bagian bumi ini, beberapa insan mampu mendengarkan bisikan-bisikan alam, bisikan yang kadang memojokkan, menjatuhkan, namun disisi lain justru bisikan penguji integritasnya sebagai insan.

Ditemani kelinci angkasa yang kelihatan dikejar-kejar beruang raksasa, si pemuda memandang bulatan besar si kelinci dari sudut jendela kamarnya. Kelinci angkasa yang memunggungi beruang, seperti mangsa dikejar pemangsa. Dan si pemuda pun menyadarinya "heeeh,,,langitpun mengetahui", si pemuda berkomentar sembari mendesahkan nafas beratnya.

The moon ain't romantic, its intimidating as hell. Tampaknya kata-kata itu tersirat di raut wajah si pemuda. Kelihatannya, adegan langit malam ini memutar balikkan ruang waktu di benaknya. Ada tatapan harap bercampur rindu di dua buah matanya. Sembari sekali-sekali menghembuskan nafas nya, si pemuda hanya terpaku menengadah langit. "Ini harus segera di akhiri", si pemuda berbisik. "Atau mungkin harus dikejar", dia pun melanjutkan kalimatnya setelah beberapa saat, terpaku kembali ke sebuah titik antara matanya dan langit, hanyut dalam kesendiriannya…

Kode area 0751.

"Minggu depan!!!", si pemudi berteriak histeris pada temannya. "Minggu depan apanya?", sang temanpun menanggapi dengan sudut matanya ketika dia menggulirkan kursor di layar laptopnya. "Minggu depan seminarnya, kyaaaaaa….akhirnya, aku terpilih", si pemudi berteriak bagai hyena kelaparan. "Kamu kepilih? Beneran? Kyaaaaa…", dan lengkaplah sudah, sekelompok hyena kelaparan tercipta di sebuah kamar kontrakan di kaki bukit karamuntiang, berteriak-teriak histeris sembari cekikikan. Dan memang begitulah sebuah kabar gembira, memuntahkan semua emosi keluar, sampai-sampai dua orang gadis pun keliatan seperti kelompok hyena.

"Di Bandung yah seminarnya? Duh..aku juga pengen ikutaan", sang teman tidak kalah histerisnya. "Iya, seminar international, yihaaaa…hahaha". Mereka larut dalam kesukacitaan. "Habis seminar kemana yah?", si pemudi menggoda temannya, dan mereka larut dalam keterbahak-bahakan suasana.

Kota yang bernama Buitenzorg.

Sepasang muda mudi berjalan bergandengan tangan di trotoar jalan di depan sebuah Istana Negara yang halamannya diisi ratusan rusa. Mereka mengukir langkah asmaranya di jalan sambil sekali-sekali melirik bulan pada posisi terbulatnya. "Lihat, bulan purnama, indah yah", sang pemudi berkata ke si pemuda sambil mengeratkan pegangan tangannya. "Iya yah, cantik", si pemuda tersenyum tersipu kepada kekasihnya. Dan inilah moment bulan-itu-romantis bekerja, hanya pada pasangan yang bermandikan lumpur cinta, cinta yang terlihat sisi terangnya, bukan sisi gelapnya. Seperti bulan, yang memiliki sisi terang dan sisi gelap ketika sabit, cinta pun memiliki sisi gelapnya, orang-orang akan melihat sisi terang cinta ketika saling kasmaran, namun mengalami gelapnya cinta ketika semua jalinan kasihnya mengalami goncangan kehancuran. Disinilah orang-orang berteriak menyumpahi cinta, dan menjadi bijaklah orang-orang yang memandang sisi gelap cinta ketika mengalami terangnya.

"Kamu besok gak ngantor kan?", tanya si pemuda ke pasangannya. "Gak, kenapa emang?","Nginap di kosan aku aja yah, kamu kan janji", si pemuda menjawab tanya. "Hmmm, iya, dah lama juga gak, hehe…". Dan mereka menyusuri gang-gang menuju kosan si pemuda sembari berpelukan.

Ditemani suara televisi yang disetel begitu saja, pasangan muda mudi ini berdiri berpelukan di dekat jendela bertirai biru memandangi bulan, tampak jelas kelinci bulannya. Dan ketika bulan-itu-mempengaruhi-emosi bekerja, bibir mereka saling bersujud satu sama lain, mengeratkan pelukan, dan ditambah birahi yang semakin meningkat. Keduanya asik masyuk satu sama lain bersandarkan ke dinding, kecupan demi kecupan berjatuhan dimana-mana, dan balutan tubuhnya sudah berpindah tempat ke sudut kamar entah dimana,  tangan kecil si pemudi menggapai-gapai udara yang pastinya tidak bisa digenggam, suhu udarapun naik seiring waktu berjalan, dan mereka kelihatan seperti dua butir nasi yang saling menempel. Dan tidak menyadari tentunya, dua sosok ghaib mengamati mereka serius dan mencatat seperti penulis yang kebanjiran ide dan menghayalkan kenaikan gaji dari atasannya karena cerita yang dibuatnya terlalu panjang.

Dan terlupakanlah semuanya sementara, apapun yang sedari tadi menjadi buah pikiran pasangan muda mudi ini larut dalam erangan-erangan kecil dan gapaian-gapaian tangan yang tidak berkejelasan. Sehingga.. "Bulannya indah banget yah, aku sayang kamu," "Aku juga sayang kamu," mereka kembali memberhalakan bulan, berdiri berangkulan diselimuti tirai biru.

Kode area 022.

Kota ini terletak di dataran tinggi, ya, bisa dibilang dataran tinggi, dengan bukit-bukit yang mengitarinya bagai benteng alami, dan konon kabarnya dahulunya sangat sejuk, tidak seperti saat ini. Matahari seperti berada di puncak ubun-ubun. Si pemuda sedang memperhatikan pengumuman di sebuah mading jurusan. Tiba-tiba temannya pun menghampiri.

"Lu jadi berangkat pulang? Cepet amat lu mudiknya."

"Iya, mau gimana lagi, bos besar nyuruh cepet-cepet..he he.." si pemuda menjawab.

"Yaudah, kita ke kosan lu aja yuk, gerah nih, males banget."

Mereka berdua berjalan menyisiri sudut-sudut kampus yang telah berdiri dari masa pemerintahan Belanda ini. Mencoba menghindari sengatan matahari april.

Kota yang bernama Buitenzorg.

Nokia Communicator bergetar-getar di sebuah meja kantor. Tampak seorang pemuda sibuk memindahkan lembaran-lembaran kertas berupaya mencari letak sumber bunyi. Setelah menemukannya, benda itu langsung diangkat dan si pemuda menekan tombol answer.

"Halo, aku lagi kerja sayang, ada apa?"

"Awal minggu ini kita jadi kan liburannya? Kamu kan udah janji sayang." yang menelepon menjawab.

"Iya jadi, tiket nya udah aku pesen kok." si pemuda mengulum senyumnya.

"Kamu siap-siap yah, sekarang udah mau akhir minggu lho." si pemuda melanjutkan. Dan percakapan mereka berlanjut.

Kode area 0751.

"Handuk…ada."

"Perlengkapan mandi…ready."

"Charger handphone…udah."

"Bahan seminar?? Hmm…mana yah…oiya belum diambil."

Si pemudi mendata kembali barang bawaannya. Dua hari sebelum keberangkatannya  untuk seminar di Bandung.  Ternyata masih ada barang yang belum dimasukkan ke dalam tas backpack nya.

"Aku ke kampus dulu yah, mau ngambil bahan buat seminar." si pemudi pamitan ke teman satu kosannya.

Malam sebelum hari keberangkatan.

Kode area 0751.

"Udah gak ada lagi yang ketinggalan kan?" teman si pemudi melakukan interogasi kecil-kecilan.

"Udah, beres semua, hihi."

"Besok aku anterin yah pagi-pagi." si teman memberikan sebuah tawaran.

"Ya, boleh, kalo kamu mau."

Kode area 022.

Langit kembali dihiasi kelinci bulan. Si pemuda duduk memeluk kakinya di pinggiran jendela. Kembali menengadah langit.

"Khhh..musti bangun subuh hari." batinnya.

Langitpun menambah melankoli suasana hatinya seperti malam-malam sebelumnya.

Buitenzorg.

Sebuah koper kecil berwarna merah terletak di sudut kamar, dan sebuah ransel kecil juga telah dipersiapkan. Pasangan ini sedang membalik-balikkan brosur tur dari agen penjualan tiket. Tampak ketidaksabaran dari mimik wajah si pemudi.

Bandara

Dari kejauhan terlihat koper merah kecil ditarik dengan lembut oleh seorang perempuan muda. Koper ini terlalu mencolok ditengah-tengah koper hitam atau coklat disekelilingnya. Tak kalah mencolok perempuan muda yang menariknya, terlihat jelas kontraksi otot leher laki-laki di sudut tiang sana yang mencoba mengikuti liuk-liuk badan si perempuan muda. Perempuan muda bergandengan dengan pasangannya. Mereka adalah pasangan muda-mudi Buitenzorg.

Seiring derapan bunyi sol sepatu, mereka melangkah menyisiri ratusan manusia manusia menuju gerbang keberangkatan.

Kurang dari 100 meter dari pasangan muda mudi ini, seorang pemuda memangku ransel kecilnya duduk disebuah kursi panjang bersama calon penumpang lain. Menengadah melihat layar LCD yang menampilkan jadwal keberangkatan. Pemuda ini tampak kebosanan dengan layar LCD yang menempel di tiang bandara ini. "Terlalu kepagian", keluhnya. Pemuda 022 ini mencoba menyibukkan diri dengan buku bacaan yang telah digenggamnya.

Mata si pemuda tidak sengaja melirik kedepan, melihat bertambah banyaknya orang-orang yang berdatangan. Dan dalam tempo sepersekian detik, matanya berpapasan dengan sepasang mata lain. Pemuda ini melihat kearah seorang pemudi yang tergopoh-gopoh kebingungan. Yang tak lain dan tak bukan adalah si penguasa mata yg dilihatnya sebarusan. Berhubung kursi si pemuda ini masih menyisakan tempat untuk tiga orang, si pemudi langsung duduk bersebelahan dengan si pemuda. Melirik jam tangan, dan kembali memutar mutarkan kepala mencari sebuah petunjuk yang tidak tahu dimana.

"Mas, boleh tanya gak?"

"Ya, ada apa??", si pemuda membalas sembari menutup buku bacaannya.

"Cipaganti tau gak dimana? Mau ke Bandung nih."

"Di depan terminal kedatangan ada kok, tapi kalo jam segini kayaknya gak ada deh, musti nunggu setengah jam lagi, baru ada yang berangkat lagi."

…………………….... dan percakapan mereka berlanjut.

Epilog

Si pemuda 022 dan si pemudi 0751 saling mengenal satu sama lain, atas dasar kebetulan satu kursi panjang, dan atas kebetulan si pemuda berdomisili di Bandung. Terjadi sebuah pertemuan cerita mereka berdua, di bandara, di kursi panjang. Kita semua memiliki cerita kita masing-masing yang jelas berbeda satu sama lain. Kita penulis, pelukis, yang menulis di buku besar kehidupan kita, melukis di kanvas makro kehidupan. Dengan tinta dan cat cerita. Dengan warna kejadian. Terkadang kita berbagi pena dengan yang lain, untuk menuliskan cerita yang sama. Kita adalah jalan satu arah, dimana suatu masa kita berbelok, lurus, menurun, mendaki, atau malah memutar arah, bahkan suatu masa kita berbagi jalan yang yang sama dengan yang lain.

Bandara, seperti tempat-tempat lain, merupakan tempat pertemuan cerita-cerita manusia. Cerita-cerita yang kadang saling tidak bersua, atau malah tempat pertemuan cerita satu dengan yang lainnya.

Kita penulis, yang ingin menuliskan cerita yang demikian indahnya, dan mencoba menjadi indah di cerita orang lain.


Bandung-Bukittinggi, 2011